Friday, July 6, 2012

PENGENTASAN KEMISKINAN


HAL KEMISKINAN

Ketika pertama kali mendapat pengarahan dalam mengupayakan hasil survey ataupun data mengenai peta kemiskinan atau data mengenai “masyarakat miskin” yang akurat di wilayah kalurahan di mana saya bertempat tinggal. Saya sempat terhenyak dari konsentrasi saya dalam pengarahan  rapat tersebut.

Demikian pula pada beberapa forum pertemuan lain, yang menyangkut hal pendataan  mengenai hal tersebut guna pemetaan wilayah kemiskinan dalam masyarakat yang masih menjadi problem utama di setiap kalurahan-kalurahan, hal tersebut masih mampu membuat saya miris, meskipun terkadang memang masih terdapat relevansi yang dapat saya terima kemudian.

Sebelumnya, tidak pernah terlintas dalam benak saya, karena sepengetahuan saya selama hidup saya dan dari pengalaman hidup saya, hal kemiskinan adalah hak yang menyangkut hak pribadi setiap individu manusia. Ya, saya berpendapat dan sependapat demikian, karena di manapun, dalam pandangan mata saya ataupun sisi nurani (mungkin anda juga sependapat dengan saya), jika kita menyinggung orang lain “ tentang kemiskinannya “ , atau secara kasar membuat pernyataan atau mengatakan suatu keluarga ataupun seseorang “ miskin “, tentunya hal itu  adalah merupakan suatu “ hinaan “ ataupun “ penghinaan “, jika keluarga tersebut atau orang tersebut tidak ingin mengakui kemiskinan mereka, meskipun pada kenyataan dalam pandangan mata demikian, tetapi toh secara keseluruhan , kita tidak tahu kebenarannya atau membedakan bagaimana hal sebenarnya mengenai kondisi tersebut, jika pada kenyataan singgungan tentang “kemiskinan” itu, justru dapat membuat malu,  tidak dapat membuat orang tersebut berusaha untuk bekerja lebih keras dalam mendapatkan penghasilan yang cukup, atau bahkan justru sebaliknya, mereka sudah merasa cukup dan dapat menikmati penghasilan mereka apa adanya, dalam arti tidak mengganggu kehidupan sosial mereka.

Ketika , faktor-faktor yang menentukan  pemetaan tentang “ ciri-ciri kemiskinan “ dijabarkan lebih lanjut, saya bertambah tidak bisa mengerti, mengapa harus demikian, dan mengapa harus dijabarkan dengan kriteria-kriteria tertentu. Dan kemudian, hal yang paling saya takutkan kemudian adalah : mengapa harus dilakukan pendataan ? Karena hal itu pasti akan menyangkut beberapa permasalahan privacy, yaitu pendataan dan pertanyaan-pertanyaan pribadi tentang : penghasilan, pola makan, pola kesehatan, dan pola kehidupan, serta pola pendidikan. Dan tentunya, hal yang demikian, tidaklah semua kepala keluarga akan dapat secara terbuka ataupun dapat memberikan perhitungannya secara terperinci dan detail, demi suatu status dalam pola kehidupan dalam masyarakat, ataupun sebagai suatu bahan sorotan atau pertimbangan, yang tentunya akan sangat mengganggu kehidupan sosial mereka secara privacy , baik ataupun buruk akibatnya.

Dan hal-hal yang tidak dapat mudah dikemukakan kemudian, atau merupakan suatu hukum alam sebab-akibat  adalah efek-efek buruk dari “ ciri-ciri / faktor / kriteria dari kemiskininan ” tersebut , yang kemudian dapat mengarahkan pada sisi-sisi negatif dalam pola kehidupan bermasyarakat yang terjadi selanjutnya, karena keterbatas iman atau keyakinan serta kemampuan mereka dalam menerima situasi sosial yang demikian, sehingga kemudian justru hal-hal negatif yang kemudian muncul sebagai solusi-solusi yang mereka dapatkan karena tekanan sosial tersebut.  


TOLOK UKUR BERDASARKAN POLA PENDAPATAN

Dalam lingkup  masyarakat, dapat dikatakan mengalami pola kehidupan yang “cukup” atau merupakan kategori “bukan masyarakat miskin“ adalah bila mempunyai penghasilan bersih lebih dari USD $ 2 ( Rp. 20.000 ) per orang per hari, berdasarkan tolok ukur “ standard internasional “ , untuk wilayah negara-negara berkembang.

Dengan demikian, untuk suatu keluarga dengan 4 anggota keluarga, dalam suatu lingkup sosial kehidupan masyarakat, setidaknya harus mempunyai pendapatan berkisar sebesar, USD $ 2 x 4 =  USD $ 8 ( Rp. 80.000 ) per hari, atau kumulatif USD $ 240 ( Rp. 2.400.000 ) pada tiap bulannya.

Saat tolok ukur tersebut kemudian dikonversikan pada beberapa faktor kebutuhan pokok : pangan, sandang, papan, pendidikan, kesehatan serta kebutuhan pokok lain , dalam beberapa hal, tolok ukur tersebut masih saja terdapat ketidak seimbangan dalam pembagian-pembagiannya guna pemenuhan kebutuhan-kebutuhan pokok yang lain yang diperlukan, sebagai suatu pola keseimbangan yang diperlukan dalam kehidupan bermasyarakat .

Sebagai contoh sederhana :

Kebutuhan kalori yang diperlukan setiap manusia, diperhitungkan berkisar 1800 kalori pada setiap harinya. Nah, tentunya pola konsumsi kalori ini, dalam wujud makanan bisa saja bervariasi, jika jenis-jenis makanan dan selera dipadukan, akan menghasilkan nilai biaya serta konversi yang berbeda.

Pada pola kehidupan yang “cukup“ , untuk dapat 3 kali makan makanan yang sehat, dengan menu tiap makan sepiring nasi dengan variasi  lauk pauk : daging / ikan / telor, sayur mayur, serta minum susu dan makan buah-buahan setidaknya satu jenis dalam sehari, dalam tiap harinya, biaya yang dikeluarkan bisa saja mencapai Rp. 20.000 ( USD $ 2 ), per orang . Tentunya dengan kondisi tersebut, 1800 kalori tercukupi, yang terbagi dalam 3 kali makan makanan yang sehat dan minuman yang sempurna tersebut. Dan tentunya, untuk kebutuhan-kebutuhan pokok lain,  kiranya masih memerlukan tambahan pendapatan untuk biaya lain lagi, guna  keseimbangan lain dalam pemenuhan kebutuhan pokoknya.

Dalam kondisi lain, rata-rata, bisa saja tidak 3 kali makan dalam satu hari, mungkin hanya 2 kali saja, dan untuk minuman sempurna serta buah-buahan mungkin hanya dilakukan dalam beberapa hari sekali, sehingga praktis biaya yang dikeluarkan hanya berkisar Rp. 10.000 ( USD $ 1 ) saja per orang per hari, sehingga masih terdapat ekstra Rp. 10.000 ( USD $ 1 ) yang bisa dimanfaatkan untuk pemenuhan kebutuhan pokok yang lain. Dan apakah kebutuhan 1800 kalori per hari dapat tercukupi atau tidak, tetapi dengan kondisi “ adanya ” kalori yang dapat diterima dalam tubuhnya secukupnya, hal tersebut masih dapat mencukupi kebutuhan aktifitas yang diperlukan dalam sehari-harinya . Dan secara visual , dapat saja hal ini menjadikan kategori “ lebih dari cukup ” , karena extra dari pengeluaran yang lebih kecil, kebutuhan  pokok yang lain tercukupi.

Dalam kondisi lain pula, bisa saja tidak terhitung 3 kali  dalam satu hari mengeluarkan biaya untuk kebutuhan makanan, karena status pekerjaan yang menjadi aktifitas dalam kesehari-hariannya yang memberikan jaminan untuk sumber makanan, sehingga dalam satu keluarga dengan 4 anggota yang aktif bekerja , mereka memperoleh jaminan makan di tempat di mana mereka bekerja, sehingga dalam satu hari, praktis, misalnya hanya berkisar Rp. 6.000 ( USD $ 0.6 ) saja per orang per hari , untuk biaya yang dikeluarkan untuk makanan, sehingga mereka masih mempunyai extra Rp. 14.000 ( USD $ 1.4 ) per orang per hari , yang dapat  dipergunakan untuk mencukupi kebutuhan pokok yang lain.

Demikian pula dengan status pekerjaan yang mereka lakukan, jika dari kepala keluarga sudah memenuhi kriteria “ lebih dari cukup “, maka dengan adanya penghasilan tambahan dari anggota-anggota keluarga yang sudah bekerja atau tidak ada sama sekali, adalah merupakan faktor kelebihan yang lain,  yang tidak sekedar secara visual saja dapat memberikan kriteria atapun status dan kondisi yang berbeda dalam pemenuhan kebutuhan-kebutuhan yang sama. 

Dan tentunya untuk kondisi suatu keluarga yang tidak  mencapai penghasilan sebesar USD $ 8 ( Rp. 80.000,- ) , atau bahkan hanya sebesar USD $ 2 ( Rp. 20.000,-), tentunya dengan jumlah anggota keluarga sebanyak 4 orang, dengan pola makan yang  mencukupi 1800 kalori per hari per orang ,  tidak dapat terpenuhi bagi keseluruhan anggota keluarga, demikian pula dengan adanya  kebutuhan-kebutuhan pokok yang lain, tentunya tidak dapat terpenuhi dengan penghasilan yang sangat minim, bahkan kondisi kesehatan mereka dapat saja terpengaruh jika kalori serta  kesehatan dan gizi makanan tidak dapat tercukupi.

Dalam kondisi yang demikian, ternyata lebih banyak keluarga yang masih bisa menerima kondisi tersebut, di mana dari beberapa fasilitas lingkup sosial dalam kebutuhan pokok kesehatan, pendidikan serta sarana umum, ternyata memberikan manfaat yang mendukung situasi mereka, sehingga dalam kondisi yang tidak mencukupi pada kebutuhan pokok yang lain, dapat terpenuhi karena adanya fasilitas sosial yang dapat diterimanya. Sehingga pola kehidupan yang dijalaninya “dapat mencukupi” kebutuhan-kebutuhan lain yang diperlukan.

Dengan demikian, secara visual adanya sarana serta fasilitas sosial, adalah sangat nyata dapat lebih memberikan manfaat yang sebenarnya dalam pola kehidupan sosial, dan tidak pada pola status sosial, di mana pada kondisi “berkecukupan”, lebih berarti dan mempunyai manfaat dari pada termasuk dalam kriteria yang menyandang  “status masyarakat miskin” .

Karena pada pencapaian pola kehidupan “berkecukupan” ataupun “ berkelebihan” dari kondisi  suatu keluarga dalam status “masyarakat miskin”  akan lebih banyak mendapat sorotan jika pola sisi negatif dalam mencukupi kebutuhan-kebutuhan pokok yang dilakukan, lebih banyak diderita, karena faktor lebih cepat memberikan pencapaian hasil pada tingkat “berkecukupan”, ataupun  pada tingkat “berkelebihan”, dibandingkan dengan ; pola sisi positif dalam menerima kondisi sosial, menerima pola pemanfaatan sarana serta fasilitas sosial, ataupun pola-pola bekerja serta berusaha lebih keras, jujur, disiplin  serta dapat memahami kondisi sosial bermasyarakat yang tidak dapat dipetak-petakan, sebagaimana kriteria-kriteria yang di buat ataupun kategori-kategori yang digariskan.


PEMAHAMAN

Sebagaimana suatu ketentuan dilakukan, tentunya faktor-faktor pemenuhan ketentuan tersebut harus disediakan, agar ketentuan tersebut terpenuhi atau terlaksana.

Dalam hal ini , suatu system yang menghendaki ketentuan-ketentuannya dapat terwujud, adalah mutlak memenuhi faktor-faktor pemenuhan ketentuan tersebut, karena hal tersebut tidak akan terwujud begitu saja, sebagaimana suatu pola yang diajukan tanpa bahan-bahan baku yang dipersiapkan, di mana pola yang sedang berlangsung saat itu, tidak akan mudah  menjadi bahan-bahan baku yang dapat disesuaikan ataupun diatur sebagaimana sistem yang menghendaki ketentuan-ketentuan tersebut dapat terwujud.

Dengan demikian, dalam pemenuhan ketentuan pola kehidupan yang “cukup” , tentunya sistem yang mengatur  harus mempersiapkan faktor-faktor yang mendukung ketentuan tersebut, jika pola kehidupan sebelumnya yang “dapat  mencukupi” , secara struktur akan di lakukan perubahan sebagai kondisi perubahan sosial dan juga status sosial. meskipun secara keseluruhan hal tersebut tidak memungkinkan, karena adanya faktor-faktor privacy , selain itu hal kepentingan-kepentingan sistem masih merupakan faktor-faktor yang dominan yang diutamakan.

Dan kesadaran sosial, dalam arti pola kehidupan yang “cukup”, adalah sudah merupakan tanggung jawab masing-masing  pribadi dalam keluarga, ataupun masing-masing keluarga, sehingga dalam lingkup pola kehidupan sosial, hal tersebut tidak akan dapat terpengaruh oleh adanya kategori-kategori ataupun ketentuan-ketentuan suatu sistem yang diberlakukan, sehingga hal tersebut dapat merupakan suatu bagian dari suatu lingkup sosial, yang dapat berkomunitas, sehingga dapat menepiskan adanya kategori-kategori  serta ketentuan-ketentuan yang menjadi bagian dari suatu sistem , yang kemudian mampu mewujudkan suatu sistem yang terintegrasi, antar pribadi dalam keluarga, antar pribadi dari suatu keluarga dengan pribadi dari keluarga lain, juga antar keluarga satu dengan keluarga lain dalam suatu lingkup sosial, dan lebih luas lagi dengan lingkup sosial yang lain.